Publikasi » Detail

BUKAN GARIS BATAS

Detail Publikasi

Sumber foto: https://klubwanita.com/cara-menjadi-wanita-cerdas

By Hikmah tul aulia

Sebagai seorang anak perempuan pertama dari dua bersaudara Ayumi Kartini terbiasa dituntut sempurna, terbiasa memanggul ekspetasi dan kepercayaan yang diberikan orang-orang kepadanya,terbiasa bersikap dewasa sebelum waktunya. Yang orang tau Ayumi anak yang sempurna tanpa celah ia cantik, cerdas, berbakat, rajin dan ramah. Tanpa mereka tahu ia hanya anak perempuan biasa yang masih dalam tahap belajar dan masih butuh bimbingan. Gagal hal biasa bukan? Tapi kata itu tak cocok untuk Ayumi, maksdnya untuk orang-orang disekitarnya, yang terbiasa melihat keberhasilan akan sulit menerima kegagalan bukan? Mungkin atau mereka malah menunggu kegagalan tersebut. Tapi taka apa Ayumi sudah terbiasa, karena sampai saat ini ia melewatinya tanpa hambatan, atau belum karena gurun pasir yang tenang belum tentu bebas dari badaikan?

“Duh anak gadis rajin amat sekolahnya, habis lulus nikah aja sama anak tante, udah ganteng dia juga kerja di kantor camat lagi”. Ayumi tahu ucapan adalah doa, tapi ia tak menyangka akan dikabulkan secepat ini. Dua wanita paruh baya yang salah satunya berbadan gempal yang baru saja melontarkan kalimat klise yang menjengkelkan. “Kamu kan tahu Ayumi ini anaknya pintar dan berpestasi setalah lulus pasti lanjut sekolah perguruan tinggilah, iyakan Ayumi?” ucap wanita paruh baya lainnya yang hanya dibalas senyuman oleh Ayumi.

“Anak perempuan untuk apa sekolah tinggi-tinggi jika kalau ujung-ujungnya kalau bukan berakhir didapur ya kasur. Dari pada sekolah tinggi banyak belajar ngabisin uang, mending belajar ngurus rumah, suami dan anak” ucap wanita paruh baya berbadan gempal yang terdengar lebih menjengkelkan.

“ish, ucapan itu loh jadul banget, sekatang mah ada namanya kesetaraan gender. Stigma negative itu sangat ditolak di zaman sekarang”. Protes wanita paruh baya satunya.

“Tante masa’ga tahu sih alasan anak perempuan mau sekolah tinggi? Emang dulu tante nggak kepengen sekolah? Lagi pula kita sekolah kan buat nambah wawasan, supaya nggk mudah diperbodoh orang. Emang ada anak yang mau punya ibu bodoh?” ucap Ayumi.

“Halah, emang dasarnya jaman sekarang anak-anak diluar batas semua,” sanggah wanita berbadan gempal tak mau kalah.

 “Duh tante tau arti peribahasa ‘tong kosong nyaring bunyinya’ itu loh orang yang otaknya kosong biasanya paling berisik”.

“Apa? Kamu ngatain saya”

“Tante, Ayumi pamit kesekolah dulu yah, takut telat. Assalamualaikum!” potongnya segera beranjak dari sana tak mau mendengar cerocosan wanita berbadan gempal tersebut.

“Cih, orang-orang seperti itu. Negara saja yang merdeka tapi otaknya masih dijajah. Bias-bisanya gender masih dijadikan garis batasan kehidupan seseorang, malah memperbabu diri sendiri, bikin malu Ibu Kartini saja”.

Setelah jam istirahat pertama berakhir Ayumi yang berada dikantin segera beranjak menuju kelasnya sebelum dua teman menghampirinya. “Duh setelah ini pelajaran matematika gurunya kiler lagi”. Ucap ana, temen sekelas Ayumi yang dibalas anggukan oleh pita.

“Iya males banget kalau disuruh cari jawabannya make rumus yang sama sekali ga kita mengerti. Mending bolos yuk !” ucap pita yang diakhiri bisikan.

“Ayo!” balas Ana, lalu keduanya serentak menoleh ke Ayumi meminta pendapatnya. Seolah mengerti tatapan mereka Ayumi berkata “Aku lebih suka nyari jawaban make rumus yang sam sekali ga dimengerti dari pada nyari masalah”. Lalu segera beranjak dari sana.

“Kamu sih, orang kaya Ayumi di ajak bolos” Ucap Ana menyalahkan pita.

“Ga ikut pelajaran sekali aja, ga bikin kamu bodoh kok”. Rupanya pita adalah gadis yang tangguh dan membuat Ayumi menoleh, pita kembali berkata “Kamu gak capek apa? Belajar terus ga bikin kamu jadi presiden. Lagi pula kita masih mudah jangan dibuat stres sama pelajaran”.

“Justru karena kita masih muda, hidup terlalu berharga untuk sesuatu yang tak berguna”. Jawab Ayumi sambil membalikkan badan.

“Kalau terus belajar gak jamin jadi presiden, setidaknya aku belajar supaya tidak terihat bodoh”.

“Ayumi” panggil cahaya teman Ayumi. Bel tanda pulang sudah berbunyi sejak 2 menit yang lalu, dan sekarang mereka sedng menunggu bus di halte bus depan sekolah.

“Ya ?”

“Tau Puput ga? Anak kelas 9 yang rumahnya ga jauh dari rumahmu”. Tanya Cahya.

“Oh, yang dulu adik kelas kita yah?” Tanya Ayumi yang dibalas anggukan oleh cahya “emang kenapa dia?”

“Kamu ga tahu? Itu si puput lusa nikah”. Ucapan cahaya sedikit berisik.

“Ha, kok bisa ?” Tanya Ayumi kaget.

“Dijodohkan kasian kan mana dua-duanya masih di bawah umur, muka si puput juga masih lugu banget. Kalau begini orang taunya udah ngerusak masa depan anaknya gasih?” ucap Cahya.

“iya miris banget. Akibat kurangnya wawasan dan pendidikan nih. Padahal udah jenis undang-undang ngelarang pernikahan dibawah umur dan anak kan berhak memilih masa depannya. Padahal pernikahan dini itu sangat rawan, kesehatan mental keduanya bisa terguncang”. Ucap Ayumi.

“Kayaknya orang tuanya masih menganut stigma negatif tentang perempuan yang sekolah tinggi itu percuma” duga Cahya.

“Cek, lagi-lagi stigma itu, apa mereka nggk tahu ada namanya emansipasi wanita ya? Masa gender masih di jadikan garis batasan seseorang dalam mendapatkan pendidikan. Gimana Indonesia mau maju jika pikiran rakyatnya masih purbakala begini”. Balas ayumi dengan kesal.

“Iya ya, maksud mereka tuh yang boleh sekolah tinggi terus kerja ya cuman laki-laki lalu perempuan kerjanya dirumah dan jadi ibu rumah tangga. Kebayang ga sih yang boleh pinter cuman laki-laki aja terus perempuan mau aja dibodohi”. Ka Cahya menimpali.

“Makanya kita disekolahin biar memutus rantai asumsi bodoh itu. Kan sayang, para pejuang wanita kita udah jelas-jelas mereka membutuhkan bahwa gender bukan batasan untuk memperjuangkan pada saat itu”. Kata Ayumi dengan semangat.

Bagikan:

Publikasi Lainnya: